Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kita diharubirukan dengan kelangkaan demi kelangkaan bahan bakar minyak dan listrik. Minyak tanah menghilang, sekarang mulai diganti dengan gas elpiji dan kini Jakarta pun tidak luput dari pemadaman listrik secara bergilir, yang sebelumnya menjadi monopoli daerah-daerah, khususnya di luar Jawa. Ongkos yang harus dibayar dari pemadaman bergilir sungguh mahal, karena listrik menjadi urat nadi industri kecil hingga besar. Daging yang busuk karena pendingin mati berjam-jam. Pengrajin es balon yang mendadak kehilangan penghasilan suatu hari karena hal yang sama, hanyalah sebagian kecil ilustrasi ongkos pemadaman tersebut.
Berbagai analisis dan solusi diusulkan baik oleh para pejabat maupun pakar. Mulai dari yang nadanya pembelaan diri hingga usulan penggunaan pembangkit listrik tenaga surya. Sementara, di salah satu sudut kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Tim Biogas dari Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) BPPT tengah mengotak-atik reaktor biogas mungil dan pembangkit listrik yang tak kalah mungil, cuma 700 watt.(ay).
Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng, Peneliti Utama di Pusat TPSE BPPT mengungkapkan, disaat kita kehilangan kesederhanaan berfikir, sehingga melupakan hal-hal yang kecil, muncul solusi memecahkan masalah kelangkaan listrik yang sudah demikian menggurita. Contohnya, ketika kita bicara pengadaan listrik 40.000 MW, yang ada di kepala kita hampir pasti 4 pembangkit x 10.000 MW. Kita hanya memikirkan pulau Jawa dan melupakan ada belasan ribu pulau lainnya yang memerlukan pembangkit listrik dengan daya jauh lebih kecil. Pembangkit kecil PLN sebenarnya sudah banyak tetapi tidak memadai lagi dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Bahan bakar minyak yang mahal karena harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke lokasi dan tarif harga listrik yang berlaku secara nasional merupakan hambatan tersendiri dalam investasi pembangkit tambahan.
Arif dan Tim peneliti Teknologi Biogas Pusat TPSE menjelaskan Biogas merupakan salah satu bahan bakar gas yang dihasilkan dari proses fermentasi kotoran hewan. Biogas dapat digunakan di rumah tangga (untuk memasak), bahkan bisa juga digunakan untuk menyalakan generator listrik. Proses produksi biogas dari limbah pertanian dan peternakan ini dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam memproduksi listrik. Menurut Wid, harganya murah karena bahan bakunya berasal dari limbah. ”Kwlitasnya juga tidak kalah dengan BBM atau elpiji,” kata Nesha. Untuk penggunaan kompor di rumah tangga juga hemat dan dapat memasak dengan suhu hingga 700ÂșC, atau dengan 2 rice cooker. Layaknya elpiji, pembakaran gas methan menghasilkan api biru dan tidak mengeluarkan asap. ”Gas methane yang dihasilkan dari 40 kilogram kotoran sapi dapat digunakan untuk memanaskan kompor selama 6 jam,” tegas Kiki. Proses mikrobiologis di dalam reaktor akan menghasilkan gas methan dan kompos. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui selang ke penampung dari plastik berkapasitas 2.000 liter dan disalurkan ke kompor. Proses ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang terdapat pasokan kotoran sapi.
Arif menambahkan, dengan inovasi teknologi, produktifitas biogas dari kotoran sapi rata-rata hanya 0,2-0,3 m3/m3 volume reaktor/hari. Artinya hanya mampu menghasilkan listrik 0,25-0,4 kwh/m3 volume reaktor/hari. Dengan investasi Rp 1,5 juta per-m3 reaktor dan anggaplah 1 kwh dibeli PLN Rp 650/kwh, maka diperlukan waktu belasan tahun untuk kembali modal. Untuk mendapatkan pasokan gas sebanyak itu, kotoran sapi harus dicampur dengan air dengan perbandingan satu banding satu dan diaduk rata dalam tangki pengumpan dari tong besi yang dipotong. Kemudian, hasilnya dimasukkan ke dalam reaktor plastik berkapasitas 5.000 liter yang di dalamnya telah dihuni berjuta-juta bakteri Methanogenesis yang berkembang biak dari 25 liter bakteri starter yang telah dimasukkan.
Bukan hal baru lagi, kata Arif, tetapi mengulangi usulan yang sama oleh orang-orang yang beda, seringkali diperlukan. Pemerintah dan PLN sebaiknya bersikap realisitik dengan melibatkan masyarakat untuk ikut memproduksi listrik tanpa birokrasi yang berbelit-belit. ”Di Jepang, rumahtangga dapat menyumbang listrik tenaga surya meski hanya beberapa watt melalui sebuah inverter. Di Thailand, pembangkit-pembangkit listrik gasifikasi skala kecil menggunakan biomassa ranting-ranting kayu yang dipangkas secara periodik dapat disalurkan ke listrik negara dengan sistem bagi hasil. Tetapi yang terjadi di Indonesia, biogas dari pengolahan limbah dengan mekanisme pendanaan CDM harus diflaring (dibakar) di udara karena tidak yakin kalau dibuat listrik akan dibeli PLN. ”Jika dibandingkan, PLN memproduksi listrik dengan ongkos Rp 1100/kwh. Listrik dari biogas dan gas sintesis jauh lebih murah. Tetapi biogas tidak dibeli hanya karena dirasa masih kurang murah lagi harganya”, ungkap Arif.
Ke depan, kata Arif, BPPT sedang mengupayakan inovasi dari dua arah, yaitu meningkatkan produktifitas biogas menjadi 1 m3 biogas/m3 volume reaktor/hari dengan penambahan limbah pati dan protein yang tinggi produktifitasnnya dan menekan biaya investasi reaktor di bawah Rp 1 juta/m3 dengan bahan dan teknik konstruksi reaktor yang lebih murah. Dengan ini, secara tekno-ekonomi akan dapat lebih diandalkan. Yang jelas, biogas selama ini telah dibuktikan di banyak negara sebagai bahan bakar yang murah karena berasal dari bahan baku limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri.(gs.dw-adpkipt).
• Ristek
0 Response to "IPTEK TTG : BAHAN BAKAR BIOGAS"
Posting Komentar