Pabrik pesawat Industri rumahan itu berada di Indonesia, tepatnya di Jalan Aeromodelling 4, Arcamanik, Bandung Timur. (di halaman sebuah rumah penduduk)
Memang bukan pesawat terbang biasa yang bisa mengangkut penumpang, tetapi industri rumahan pembuat pesawat tanpa pemandu yang disebut Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Dibilang pesawat mini juga tidak, sebab UAV ini punya bentangan sayap 3 meter, panjang badan 2,6 meter, dan berat 20 kilogram, termasuk kamera di dalamnya. Terbuat dari bahan fiberglass yang dicetak di pabrik itu, UAV dapat terbang pada ketinggian 1.000 meter selama 2 sampai 3 jam dengan kecepatan maksimal 150 kilometer per jam.
Berbeda dengan pesawat remote control manual, UAV yang bertenaga listrik 12 volt dapat terbang mandiri berkat navigasi GPS yang sudah ditanam di tubuhnya. Pengendali jarak jauh dua tongkat dengan enam saluran hanya digunakan saat pesawat take off dan landing. Selebihnya, ia terbang mandiri mencari titik-titik koordinat yang sudah ditentukan sebelum ia terbang dengan menggunakan peta gratisan Google Earth.
Aplikasi UAV tidak berhenti pada pemantauan kebakaran hutan, pencarian korban kecelakaan, pengamatan lalu lintas maritim, pencarian kandungan mineral bawah tanah, atau pengawasan titik semburan lumpur Lapindo, misalnya, tetapi bisa dikembangkan untuk keperluan pesawat mata-mata.
Di rumah penduduk yang sebagian halamannya dijadikan pabrik, diproduksi pula belasan tipe pesawat terbang aeromodelling untuk olahraga dan hobi, mulai pesawat helikopter sampai pesawat tempur, yang dikerjakan oleh 12 teknisi lulusan STM.
Harga per pesawat Rp 15 juta hingga Rp 25 juta. Namun, bisnis inti yang serius digarap adalah UAV.
Saat wartawan Kompas berkunjung ke industri rumahan pesawat terbang itu, satu UAV pesanan sebuah lembaga riset Malaysia sudah selesai dibuat.
Tanggal 24 Desember 2007, UAV yang kemudian diberi nama Kujang ini berhasil menjalani tes terbang di Lanud Sulaeman, Bandung.
Kujang—yang merupakan senjata khas Sunda—mengudara selama 30 menit, berhasil menelusuri rute yang ditentukan tanpa kendali radio, sampai mendarat selamat.
Kembangkan logika
Siapa otak di balik lahirnya UAV yang berteknologi tinggi made in Arcamanik ini? Dialah Endri Rachman, pelarian PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang sejak delapan tahun lalu hijrah ke Malaysia untuk mengembangkan keahliannya sebagai pensyarah alias dosen.
Kompas masih mencatat ucapan pria lulusan S-2 Technical University of Brunswick, Jerman, spesialis model autopilot ini saat ditemui satu tahun lalu. ”Saya ingin memproduksi UAV dengan logika autopilot di Indonesia, tepatnya di Bandung,” katanya (Kompas, 29/12/2006). Rupanya ia membuktikan ucapannya itu!
Tidak nasionalis? ”Terserah orang mau bilang apa. Saya ini warga negara Indonesia. Kalau saya tidak nasionalis, saya pasti tidak akan membangun pabrik pesawat ini di Arcamanik, tetapi di Malaysia. Adanya pabrik pesawat ini justru agar Malaysia tidak mengklaim UAV yang saya kembangkan sebagai miliknya,” kata Endri saat ditemui di kantor pengembangan peranti UAV di sebuah ruko di Jalan Cihampelas, Bandung.
Untuk mewujudkan niatnya, Endri bersama rekan-rekan alumni IPTN mendirikan PT GTSI dengan modal awal yang menurut dia tidak sampai Rp 300 juta. Di lantai dua ruko bekerja teknisi pesawat terbang yang rata-rata jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan IPTN. Ada Asep Permana, jebolan Jerman dan IPTN di pengembangan bisnis. Ada Widyawardana, jebolan Teknik Elektro ITB di pengembangan sistem avionic UAV. Juga ada Muhajirin, manajer drawing yang mendesain rekayasa bentuk UAV. Endri sendiri bertindak selaku direktur utama.
Mengapa dengan modal yang tidak bisa dibilang besar Endri dan kawan-kawan berani melakukan langkah besar dengan mendirikan pabrik UAV di Indonesia? Jawabannya adalah ”nama besar”, yakni nama besar Endri sebagai inovator pesawat yang laku dijual di Malaysia. Orang Malaysia yang memesan UAV pertamanya pun berani memberi panjar 70 persen dari harga UAV.
Widyawardana mengakui, mesin masih didatangkan dari Amerika Serikat. Namun ke depan, katanya, PT GTSI sudah siap merancang mesin untuk UAV. Yang dikerjakan para teknisi di lantai dua ruko itu hanya rancang bangun dan pengembangan peranti lunak dan peranti keras yang akan ditanamkan di UAV.
”Yang kami kembangkan adalah logika. Dengan demikian, kalau bicara software bukan hanya untuk UAV saja. Umumnya bisa diterapkan pada benda bergerak lainnya, seperti kapal selam tanpa awak atau bahkan peluru kendali yang tidak bisa terjangkau pandangan mata,” katanya.
Kumpulan ”teknopreneur”
Asep dan kawan-kawan di PT GTSI punya cita-cita besar, yakni menghimpun kembali para alumnus IPTN yang kini banyak berserakan di medan usaha di luar pesawat terbang sekadar, yang disebutnya ”teknopreneur”. Sudah bukan rahasia umum, selepas IPTN goyah seiring selesainya BJ Habibie mengabdi di pemerintahan, para teknisi andal IPTN banyak terserak (diaspora) di beberapa tempat.
Sebagian besar lari ke luar negeri, seperti halnya Endri ke Malaysia. Ada pula yang bertahan di dalam negeri. Asep menyebut beberapa nama, antara lain Husin, ahli helikopter andal, yang kini menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Juga ada Lian Darmakusumah, mahasiswa terbaik lulusan aeronotika Perancis, yang kini berwirausaha.
Untuk mewujudkan langkah itu, PT GTSI mengakuisisi sebuah bengkel yang sebelumnya hanya mengerjakan pesawat aeromodelling. Pesawat kendali untuk hobi ini tetap dipertahankan. Pilihan mengembangkan UAV tidaklah keliru. Endri mengaku sudah menerima pesanan baru, juga dari Malaysia, untuk mengerjakan Kujang 2.
Perusahaan ini pun siap membuka cabang di Malaysia, sekadar mendekatkan diri kepada konsumen. Negara lain yang berpotensi sebagai pemesan adalah negara-negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, yang sudah menyatakan minatnya memesan UAV.
”Pesanan boleh datang dari mana pun, tetapi pabrik UAV tetap harus ada di sini, di Arcamanik ini,” kata Endri.
• KOMPAS
0 Response to "Industri Rumah membuat komponen pesawat terbang"
Posting Komentar